A. Prolog
Kejahatan
yang terjadi pada kasus sumber daya alam dan lingkungan hidup adalah
suatu kejahatan yang tidak berhenti ketika pelaku berhasil di jebloskan
ke dalam penjara atau memberikan ganti kerugian. Kejahatan ini akan
menimbulkan dampak yang akumulatif dan cenderung melahirkan suatu bentuk
kejahatan baru. Destructive logging/perusakan hutan adalah contoh
konkret yang selanjutnya dapat melahirkan rentetan bencana berupa
banjir, longsor, kekeringan, gagal panen, gagal tanam dan kebakaran
hutan. Bahkan dampak dari destructive logging dapat menimbulkan
hilangnya nyawa dan harta benda bagi mereka yang tertimpa bencana ikutan
tersebut.
Berikutnya
ketidak sigapan negara dalam menanggulangi bencana akan melahirkan
pelanggaran terhadap hak-hak penggungsi (akibat tersingkir dari tempat
hidupnya) yang di nyatakan secara tegas dalam berbagai perjanjian atau
kesepakatan internasional termasuk covenant on economic social and
political right. Inilah yang WALHI sebutkan sebagai kejahatan yang dapat
melahirkan akumulasi dampak dan kejahatan lainnya. Lingkup kejahatan
terhadap sumber daya alam dan lingkungan hidup sangatlah luas. Antara
lain terdapat pada sektor kehutanan, perikanan dan kelautan,
pertambangan mineral dan sumber-sumber energi fosil serta sumberdaya
air. Dimana sector tersebut adalah sektor yang paling sering dikelola
secara destructive. Melihat polanya maka dalam pandangan diatas,
kejahatan ini bukanlah suatu peristiwa yang berdiri sendiri. Kesalahan
dalam pengurusan yang telah berlangsung lama menjadi salah faktor utama
pendorong terjadinya kejahatan tersebut termasuk regulasi yang
mengaturnya. Belum lagi lemahnya penegakan hukum yang berimplikasi pada
semakin tingginya tingkat kejahatan tersebut. Parahnya, (oknum) aparat
penegak hukum juga menjadi bagian dari praktek/modus bagaimana kejahatan
ini berlangsung dan dilakukan terus menerus.
Kejahatan
korporasi adalah tindak pidana yang dilakukan oleh dan oleh karena itu
dapat dibebankan pada suatu korporasi karena aktivitasaktivitas pegawai
atau karyawannya (seperti penetapan harga, pembuangan limbah), sering
juga disebut sebagai “kejahatan kerah putih”. Sally. A. Simpson yang
mengutip pendapat John Braithwaite menyatakan kejahatan korporasi adalah
“conduct of a corporation, or employees acting on behalf of a
corporation, which is proscribed and punishable by law“ (melakukan suatu korporasi, atau karyawan yang bertindak atas nama sebuah perusahaan, yang dilarang dan dikenai sanksi hukum). Simpson menyatakan bahwa ada tiga ide pokok dari definisi Braithwaite mengenai kejahatan korporasi. Pertama,
tindakan ilegal dari korporasi dan agen-agennya berbeda dengan perilaku
kriminal kelas sosioekonomi bawah dalam hal prosedur administrasi.
Karenanya, yang digolongkan kejahatan korporasi tidak hanya tindakan
kejahatan atas hokum pidana, tetapi juga pelanggaran atas hukum perdata
dan administrasi. Kedua, baik korporasi (sebagai “subyek hukum
perorangan “legal persons“) dan perwakilannya termasuk sebagai pelaku
kejahatan (as illegal actors), dimana dalam praktek yudisialnya,
bergantung pada antara lain kejahatan yang dilakukan, aturan dan
kualitas pembuktian dan penuntutan. Ketiga, motivasi kejahatan
yang dilakukan korporasi bukan bertujuan untuk keuntungan pribadi,
melainkan pada pemenuhan kebutuhan dan pencapaian keuntungan
organisasional. Tidak menutup kemungkinan motif tersebut ditopang pula
oleh norma operasional (internal) dan sub-kultur organisasional.
B. Kasus
Banjir
lumpur panas Lapindo di Sidoarjo adalah peristiwa menyemburnya lumpur
panas di lokasi pengeboran Lapindo Brantas Inc. di Desa Renokenongo,
Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur yang terjadi sejak
tanggal 27 Mei 2006. Semburan lumpur panas telah mengakibatkan
tergenangnya kawasan permukiman, pertanian, dan perindustrian di tiga
kecamatan di sekitarnya, serta mempengaruhi aktivitas perekonomian di
Jawa Timur. Lokasi semburan lumpur panas berada di Kecamatan Porong, di
bagian selatan Kabupaten Sidoarjo, sekitar 12 kilometer sebelah selatan
Kota Sidoarjo. Kecamatan ini berbatasan dengan Kecamatan Gempol,
Kabupaten Pasuruan di sebelah selatan. Lokasi semburan hanya berjarak
150-500 meter dari sumur BanjarPanji-1 (BJP-1), yang merupakan sumur
eksplorasi gas milik Lapindo Brantas sebagai pelaksana teknis blok
Brantas. Oleh karena itu, hingga saat ini, semburan lumpur panas
tersebut diduga diakibatkan aktivitas pengeboran yang dilakukan Lapindo
Brantas di sumur tersebut.
Pihak
Lapindo Brantas sendiri punya dua teori yang berhubungan dengan asal
semburan. Pertama, semburan lumpur berhubungan dengan kegiatan
pengeboran. Kedua, semburan lumpur "kebetulan" terjadi bersamaan dengan
pengeboran akibat sesuatu yang belum diketahui. Lokasi tersebut
merupakan kawasan pemukiman dan di sekitarnya merupakan salah satu
kawasan industri utama di Jawa Timur. Tak jauh dari lokasi semburan
terdapat jalan tol Surabaya-Gempol, jalan raya Surabaya-Malang dan
Surabaya-Pasuruan-Banyuwangi (jalur pantura timur), serta jalur kereta
api lintas timur Surabaya-Malang dan Surabaya-Banyuwangi.
C. Analisis
Korporasi
yang saat ini sedang mendapat sorotan atas dugaan pelanggaran terhadap
lingkungan yang sedang terjadi adalah Lapindo brantas Inc. yang terkait
dengan luapan lumpur dan gas di Porong Sidoarjo Jawa Timur. Telah 200
hari sejak pertama kali lumpur itu menyembur dari sumur galian milik
Lapindo Brantas Inc., salah satu dari berbagai anak perusahaan milik PT.
Energi Mega Persada Tbk (EMP). Lapindo Brantas didirikan khusus untuk
mengeksploitasi sumur-sumur yang ada di Blok Brantas, dalam hal ini,
Lapindo Brantas/EMP ibaratnya hanya sebagai operator, sedangkan saham
Blok Brantas tersebut dimiliki bersama oleh PT. Energi Mega Persada Tbk,
PT. Medco Energi Tbk, dan Santoz LTD-Australia Perusahaan-perusahaan
yang menguasai saham di Lapindo Brantas/EMP merupakan perusahaan yang
juga memiliki berbagai kilang minyak dan gas yang tersebar seantero
Nusantara.
Perbuatan
pengeboran yang dilakukan oleh Lapindo Brantas di blok Brantas yang
telah terjadi selama beberapa periode eksplotasi ini telah membuat
Lapindo Brantas menjadi tersangka utama dalam dugaan adanya pelanggaran
terhadap UUPLH sekaligus penerapan sanksi pidana terhadap sangkaan
terjadinya kejahatan korporasi oleh Lapindo Brantas, sampai saat ini
menyebab dari semburan lumpur tersebut masih diselidiki oleh pihak yang
berwenang, namun korban serta lingkungan yang rusak terus bertambah
besar dan luas jumlahnya, tanpa ada yang tahu kapan lumpur tersebut akan
berhenti menenggelamkan Kec. Porong dan sekitarnya. Yang sangat jelas
terlihat saat ini adalah Lapindo Brantas/EMP sebagai pemegang hak
eksploitasi
dan eksplorasi dari BP Migas telah menyebabkan terjadinya kerusakan
lingkungan dan pencemaran lingkungan, dalam UUPLH No. 23 Tahun 1997 hal
ini telah melanggar Pasal 41 hingga Pasal 45 undangundang tersebut.
Namun tentunya dalam hal Lapindo, jika nantinya tidak dapat ditemukan
bahwa penyebab menyemburnya lumpur yang telah mengakibatkan bencana ini
merupakan kealpaan atau kesengajaan dalam kegiatan pengeboran sudah
tentu Lapindo sebagai korporasi tidak dapat dijatuhi hukuman. Dan hal
ini akan membuat masyarakat yang mencari keadilan akan terkoyak.
Di
Indonesia, salah satu peraturan yang mempidanakan kejahatan korporasi
adalah Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup. Hal
ini dapat dilihat dari isi pasal 46 yang mengadopsi doktrin vicarious
liability. Meskipun tidak digariskan secara jelas seperti dalam KUHP
Belanda, berdasarkan sistem hukum pidana di Indonesia pada saat ini
terdapat 3 bentuk pertanggungjawaban pidana dalam kejahatan korporasi
berdasarkan regulasi yang sudah ada, yaitu :
1. Dibebankan pada korporasi itu sendiri, seperti diatur dalam Pasal 65 ayat 1 dan 2 UU No.38/2004 tentang Jalan.
2. Dapat
pula dibebankan kepada organ atau pengurus korporasi yang melakukan
perbuatan atau mereka yang bertindak sebagai pemimpin dalam melakukan
tindak pindana, seperti yang diatur dalam pasal 20 ayat
3. UU No.31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi dan UU No.31/2004 tentang Perikanan
4. Kemudian
kemungkinan berikutnya adalah dapat dibebankan baik kepada pengurus
korporasi sebagai pemberi perintah atau pemimpin dan juga dibebankan
kepada koorporasi, contohnya seperti dalam pasal 20 ayat 1 UU No.31/1999
tentang Tindak Pidana Korupsi.
kejahatan
korporasi adalah merupakan pelanggaran atau tindak pidana yang
dilakukan oleh korporasi, yang tentunya berkaitan dengan hubungan
keperdataan, artinya hubungan yang menimbulkan tindak pidana tersebut
adalah perbuatan perdata. Melakukan pengeboran yang bertujuan sebagai
kegiatan penambangan gas di Blok Brantas oleh Lapindo Brantas Inc.,
menurut pengertian kejahatan korporasi adalah merupakan perbuatan
perdata, sedangkan hal yang berlanjut mengenai adanya kesalahan manusia
atau human error dan mengakibatkan kerugian bagi orang lain adalah
merupakan perbuatan tindak pidana.
Human
error yang dilakukan oleh Lapindo Brantas adalah tidak dipasangnya pipa
selubung dalam aktivitas pengeborannya sehingga mengakibatkan bencana
itu terjadi. Pemasangan chasing (pipa selubung) yang tidak dilakukan
lebih awal oleh Lapindo ini dapat dijadikan sebagai suatu kelalaian dari
sebuah korporasi dengan tidak dilaksanakannya standar keselamatan
sebelum pelaksanan pengeboran.
Kejahatan
korporasi yang dimaksud adalah kejahatan korporasi dibidang lingkungan
hidup, yaitu tindakan pencemaran dan perusakan lingkungan dilakukan oleh
sebuah korporasi bernama Lapindo Brantas Incorporated. Dampak yang
diakibatkan adanya perbuatan oleh korporasi tersebut merugikan tidak
hanya secara material, namun juga telah merugikan lingkungan hidup
masyarakat Sidorajo. Hal seperti ini dapat dikatakan sebagai sebuah
perbuatan tindak kejahatan. Dalam kasus Lapindo ditemukan beberapa
pelanggaran hukum yang bisa dijerat dengan pasal-pasal dalam
undang-undang antara lain hukum lingkungan hidup (UULH), hukum Pidana
(KUHP) dan hukum Perdata (KUHPer).
Sanksi
dapat dijatuhkan kepada perorangan yaitu setiap orang yang memberi
perintah maupun yang melaksanakan perintah, dalam kejadian ini,
korporasi dapat juga dijadikan tersangka sesuai dalam Pasal 45 dan Pasal
46 UU No.23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan didalam RUU
KUHP Paragraf 7 tentang Korporasi yang dimulai dari pasal 44-49. Hingga saat ini tindakan nyata dari Lapindo
Brantas
(Lapindo) sebagai pemegang izin eksplorasi dan eksplotasi pada Blok
Brantas baru sebatas pemberian ganti rugi terhadap kerusakan fisik yang
diderita warga sekitar daerah bencana. Sementara upaya menghentikan
semburan lumpur dan upaya penanggulangan dampak kerusakan dan pencemaran
lingkungan sebagai akibat lain dari bencana tersebut belum ditangani
secara benar dan sistematis.
definisi tentang perusakan lingkungan hidup yang terdapat dalam Pasal 1 angka 14 memuat unsure-unsur sebagai berikut :
1. adanya
tindakan, tindakan yang dilakukan adalah pengeboran migas oleh PT.
Lapindo Brantas dalam rangka mengeksplorasi dan ekplotasi sumber migas
di Blok Brantas tersebut.
2. yang
menimbulkan perubahan langsung atau tidak terhadap perubahan fisik dan/
atau hayati lingkungan, semburan dan luberan lumpur yang masih terjadi
saat ini memuat kandungan bahan-bahan berbahaya dan beracun (B3) yang
mengakibatkan perubahan langsung terhadap perubahan fisik lingkungan
hidup di Kec. Porong dan sekitarnya yang belum ada kepastian sampai
berapa lama lagi luberan lumpur ini akan berlanjut.
3. yang
mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang
pembangunan yang berkelanjutan, melihat fakta luberan dan semburan
lumpur yang semakin hari semakin meningkat sudah jelas tidak akan
terjadi pembangunan di Kec. Porong Sidoarjo dan sekitarnya tersebut,
daerah ini akan terisolasi dan tidak ada yang dapat memperkirakan akan
sampai berapa lama, bahkan jalan tol antara Surabaya-Gempol yang
melewati daerah semburan lumpur ini diperkirakan akan ditutup dan tidak
dapat dilewati kendaraan tranportasi orang dan barang.
Menurut
Fredrik J. Pinakunary dalam tulisannya di Harian Koran Kompas,
penerapan sistem tanggung jawab pidana mutlak dapat langsung menempatkan
Lapindo sebagai pelaku kejahatan korporasi lingkungan125. Berbeda dari
sistem tanggung jawab pidana umum yang mengharuskan adanya unsur
kesengajaan atau kealpaan dalam pembuktian sebuah perbuatan pidana,
dalam sistem tanggung jawab pidana mutlak, hanya dibutuhkan pengetahuan
dan perbuatan dari terdakwa, yang artinya adalah dalam melakukan
perbuatan tersebut, terdakwa telah mengetahui atau menyadari potensi
hasil dari perbuatannya dapat merugikan pihak lain, maka keadaan ini
telah cukup untuk menuntut pertanggungjawaban pidana kepadanya. Hal ini
tentu saja dapat dilakukan oleh hakim sebagai living interpretator yang
dapat menangkap semangat keadilan yang hidup ditengahtengah masyarakat
dan hakim juga dapat mematahkan kekakuan normative prosedural
undang-undang karena seiring dengan perkembangan hukum dan beradabnya
negara-negara di seluruh dunia, hakim tidak lagi sekedar hanya mulut
atau corong undang-undang (la bouche de la loi).
D. Epolog
Penting
untuk melakukan upaya rehabilitasi dari kerusakan lingkungan yang
terjadi dan juga mengembalikan harkat dan martabat masyarakat korban
luapan lumpur Lapindo Brantas Inc. sehingga kasus ini juga bisa
dijadikan pembelajaran bagi kehidupan berbangsa dan bernegara untuk
melindungi warga Negara dan kepentingan ekonomi, social dan lingkungan
hidupnya. Kasus lumpur panas di Kec. Porong Sidoarjo Jawa Timur ini
harus diungkapkan dengan tuntas dan maksimal, dimana aparat penegak
hokum harus melibatkan pihak-pihak terkait yang tidak saja mengerti akan
norma-norma hukum Indonesia, tetapi juga penyelidikan seharusnya
melibatkan penyidik sipil dari instansi tertentu yang menangani masalah
lingkungan baik dari pemerintahan, pakar-pakar ahli bidang lingkungan
maupun anggota-anggota lembaga swadaya masyarakat (LSM) lingkungan.
Pengusutan tidak saja dilakukan dijajaran karyawan PT. Lapindo Brantas
saja, tapi harus juga diusut dari jajaran top managerial, karena kasus
ini tidak lagi merupakan kasus lingkungan biasa yang akan selesai dengan
hanya menerapkan sanksi berupa sanksi denda/administrasi.
1. Analisis Dampak Dari Lumpur Lapindo (Yis Andispa)
Perbuatan
pengeboran yang dilakukan oleh Lapindo Brantas di blok Brantas yang
telah terjadi selama beberapa periode eksplotasi ini telah membuat
Lapindo Brantas menjadi tersangka utama dalam dugaan adanya pelanggaran
terhadap UUPLH sekaligus penerapan sanksi pidana terhadap sangkaan
terjadinya kejahatan korporasi oleh Lapindo Brantas, sampai saat ini
menyebab dari semburan lumpur tersebut masih diselidiki oleh pihak yang
berwenang, namun korban serta lingkungan yang rusak terus bertambah
besar dan luas jumlahnya, tanpa ada yang tahu kapan lumpur tersebut akan
berhenti menenggelamkan Kec. Porong dan sekitarnya. Yang sangat jelas
terlihat saat ini adalah Lapindo Brantas/EMP sebagai pemegang hak
eksploitasi
dan eksplorasi dari BP Migas telah menyebabkan terjadinya kerusakan
lingkungan dan pencemaran lingkungan, dalam UUPLH No. 23 Tahun 1997 hal
ini telah melanggar Pasal 41 hingga Pasal 45 undang-undang tersebut.
Namun tentunya dalam hal Lapindo, jika nantinya tidak dapat ditemukan
bahwa penyebab menyemburnya lumpur yang telah mengakibatkan bencana ini
merupakan kealpaan atau kesengajaan dalam kegiatan pengeboran sudah
tentu Lapindo sebagai korporasi tidak dapat dijatuhi hukuman. Dan hal
ini akan membuat masyarakat yang mencari keadilan akan terkoyak.
Hingga
saat ini pertanggungjawaban atas kejadian luapan lumpur lapindo pun
belum jelas, ganti rudi yang diberikan oleh pihak Lapindo Brantas
terhadap masyarakat ternyata tidak memberikan suatu keadaan yang cukup,
masih banyak masyarakat yang mengeluhkan tentang ganti rugi yang tidak
sepadan dengan apa yang masyarakat miliki sebelumnya. Hal ini
mengakibatkan banyaknya warga yang terlantar dan tidak mempunyai suatu
penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan.
Hal
yang sangat menjadi perhatian dalam kasus ini yaitu tentang pencemaran
lingkungan dimana luapan lumpur lapindo telah menenggelamkan beberapa
desa. Hal inilah yang seharusnya menjadi perhatian pemerintah untuk
menindak lanjuti permasalahan yang hingga saat ini belum terselesaikan.
Seharusnya pemerintah bertindak tegas agar dampak lingkungan dari lumpur
lapindo tidak meluas.
2. Analisis Tentang Subjek/Pelaku Kejahatan Korporasi Dalam Lumpur Lapindo
Subyek
yang mengakibatkan Dampak dari Lumpur Lapindo, diakarenakan adanya
Human error yang dilakukan oleh Lapindo Brantas, dimana tidak
dipasangnya pipa selubung dalam aktivitas pengeborannya sehingga
mengakibatkan bencana itu terjadi. Pemasangan chasing (pipa selubung)
yang tidak dilakukan lebih awal oleh Lapindo ini dapat dijadikan sebagai
suatu kelalaian dari sebuah korporasi dengan tidak dilaksanakannya
standar keselamatan sebelum pelaksanan pengeboran. Bahwa Banjir lumpur
panas Lapindo di Sidoarjo merupakan peristiwa menyemburnya lumpur panas
di lokasi pengeboran Lapindo Brantas Inc. di Desa Renokenongo, Kecamatan
Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur yang terjadi sejak tanggal 27
Mei 2006. Semburan lumpur panas telah mengakibatkan tergenangnya kawasan
permukiman, pertanian, dan perindustrian di tiga kecamatan di
sekitarnya, serta mempengaruhi aktivitas perekonomian di Jawa Timur.
3. Kesimpulan Dampak Dari Lumpur Lapindo
Ø Bahwa
pelanggaran kejahatan ekonomi yang di timbulkan oleh korporasi (Lumpu
Lapindo) telah mencemarkan lingkungan di sekitarnya, terlebih lagi telah
menenggelamkan beberapa desa di sekitar bencana tersebut.
Ø Bahwa
semburan lumpur lapindo telah merugikan warga yang tempat tinggalnya
terendam lumpur, dengan ganti rugi yang tidak menunjang kehidupan harus
diperhatikan secara serius oleh pemerintah.
Ø Bahwa subjek/petinggi korporasi harus bertanggungjawab atas terjadinya luapan lumpur lapindo yang menenggelamkan rumah warga.
Ø Sebagai
penegak hukum, seharusnya masalah seperti ini harus di tangani secara
serius, karena permasalahan yang berkaitan dengan kejahatan korporasi
tersangka sangat sulit di tangkap/pun di kenali.http://yisandispa.blogspot.com/2011/10/analisis-kasus-tentang-kejahatan.html
1 komentar:
Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut
Posting Komentar