Konvensi hukum laut PBB (UNCLOS, 1982) memiliki kontribusi yang
sangat besar terhadap perdamaian, stabilitas, lingkungan, dan
perekonomian dunia. Betapa tidak, konvensi ini mampu menjamin
kepentingan negara-negara yang memiliki kekuatan maritim, seperti
Indonesia. Kini UNCLOS 1982 telah berjalan selama 30 tahun. Menandai
tiga dekade konvensi berlaku, sudah saatnya masyarakat internasional
menganalisis perkembangan terakhir terkait dengan urusan laut dan hukum
laut.
“Indonesia
adalah negara pertama dan salah satu dari sedikit negara yang telah
meratifikasi Konvensi PBB tentang hukum laut. Pada kenyataannya,
problematika mengenai hukum laut semakin banyak. Walaupun sudah banyak
kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, nyatanya belum mampu mengatasi
kesulitan-kesulitan, seperti pada lintas sektoral,” kata Prof. Dr. Etty
R. Agoes, S.H., LL.M Director of the ICLOS, Fakultas Hukum (FH) Unpad
saat menjadi pembicara dalam acara Seminar Internasional “Recent Development: The 1982 United Nations Convention on the Law of the Sea; The 30 years commemoration of its Adoption” di Grha Sanusi Hardjadinata, Kampus Unpad Jln. Dipatiukur No.35 Bandung, Kamis (5/04).
Seminar internasional ini diselenggarakan atas kerjasama FH Unpad bersama The Indonesian Centre for the Law of the Sea (ICLOS), The Netherlands Institute for the Law of the Sea (NILOS), dan The Ministry of Foreign Affairs Republic of Indonesia (RI MOFA). Sebagai keynote speaker,
hadir Prof. Dr. Hasjim Djalal (Mantan Duta Besar Indonesia untuk PBB).
Selain itu, turut pula hadir sebagai pembicara Prof. Dr. A.H.A Soons
(Director of NILOS, Utrecht Universuity), dan Ms. Linggawaty Hakim
(Director of RI MOFA).
Prof. Dr. Hasjim Djalal menyampaikan, saat
ini keterlibatan Indonesia mengenai kebijakan hukum laut di dunia
internasional sangat minim. Indonesia harus hadir dan aktif dalam
berbagai kegiatan kebijakan internasional, karena banyak dibahas seperti
apa pengelolaan, dan eksplorasi yang lebih meluas.
“Sedikit dari
orang kita mewakili atau bertindak sebagai anggota di sejumlah pertemuan
internasional. Indonesia mempunyai kepentingan. Meliputi kewenangan di
dasar laut, sampai kelanjutan wilayah diluar 200 mil. Kalau kita anggota
di sana kita bisa tahu perkembangan yang terjadi. Kita bisa tahu
bagaimana mengeksplore wilayah diluar 200 mil. Namun sayang, kita belum
aktif,” ungkap Prof. Hasjim.
Namun pandangan berbeda disampaikan
Prof. Etty. Menurutnya, keterlibatan Indonesia terkait kebijakan hukum
laut internasional dirasa cukup. Namun, ada “pagar-pagar” yang dijaga
Indonesia. “Jangan sampai mereka masuk dan mengatur kita. Kita punya
kedaulatan. Dari segi kepentingan nasionalnya, ada juga kebijakan
internasional yang tidak baik untuk diterapkan di Indonesia,” jelas
Prof. Etty.
Selain itu Prof. Etty menyampaikan, selaras dengan
pembentukan hukum laut dalam Konvensi UNCLOS 1982, pelaksanaan hukum ini
di Indonesia telah mengalami berbagai evolusi. Sebelum pembentukan
hukum laut pada tahun 1982, hukum laut di Indonesia didasarkan pada
empat Konvensi Jenewa 1958 tentang Hukum Laut.
“Kebijakan terus
berevelosi. Namun, kondisinya saat ini semakin rumit.
Kesulitan-kesulitan ini diakibatkan karena tidak adanya kebijakan
nasional yang terpadu. Seringkali kebijakan-kebijakan mengenai
pengelolaan laut dan pesisir malah tumpang tindih dan bertentangan,”
jelas Prof. Etty.
Prof. Etty kemudian menjelaskan bahwa sebagai
suatu negara, Indonesia tidak bisa berdiri sendiri dari perubahan global
dalam politik, hukum, ekonomi dan lingkungan. Perubahan di dunia global
juga dapat mempengaruhi kebijakan nasional.
“Terutama karena
wilayah Indonesia dikelilingi oleh negara-negara tetangga. Masih banyak
pekerjaan rumah yang belum terselesaikan. Harus ditinjau kembali
Undang-undangnya,” jelas Prof. Etty.
Selain Prof. Etty dan Prof.
Hasjim, hadir pula pembicara yang berasal dari luar negeri. Seperti
Prof. Robert C. Beckman (Director of Centre of International Law,
National University of Singapore), dan Mr. Martin Sebastian (Malaysia).
Prof. Etty menyampaikan bahwa seminar internasional ini pada dasarnya
diselenggarakan untuk menyebarluaskan pentingnya hukum laut.
“Kebetulan
banyak yang datang, staf pengajar dari Fakultas Hukum dari seluruh
Indonesia. Secara pribadi, tujuan dari acara ini setidaknya dapat
menyebarluaskan pentingnya hukum laut. Kenyataanya perhatian dari dunia
pendidikan masih sangat kurang,” lengkapnya.
Prof. Etty juga
berharap, segala isu mengenai hukum laut di Indonesia dapat menjadi
kesadaran nasional. “Mudah-mudahan setelah pulang ke universitasnya
masing-masing, tidak akan ada Fakultas Hukum yang mencoret mata kuliah
hukum laut. Harus jadi kesadaran nasional. Di darat kita udah ngga punya apa-apa lagi. Masa depan kita ada di laut,” tutup Prof. Etty. *
Laporan oleh: Lydia Okva Anjelia
Sumber: http://www.unpad.ac.id/archives/53717
05/07/12
Keterlibatan Indonesia Terkait Kebijakan Hukum Laut Internasional
Diposting oleh
Ayu Tia Purwandari
di
17.29
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar