
Suasana
seminar internasional bertema “Recent Development: The 1982 United
Nations Convention on the Law of the Sea; The 30 years commemoration of
its Adoption” di Grha Sanusi Hardjadinata Unpad (Foto: Tedi Yusup)*
Seminar internasional ini diselenggarakan atas kerjasama FH Unpad bersama The Indonesian Centre for the Law of the Sea (ICLOS), The Netherlands Institute for the Law of the Sea (NILOS), dan The Ministry of Foreign Affairs Republic of Indonesia (RI MOFA). Sebagai keynote speaker, hadir Prof. Dr. Hasjim Djalal (Mantan Duta Besar Indonesia untuk PBB). Selain itu, turut pula hadir sebagai pembicara Prof. Dr. A.H.A Soons (Director of NILOS, Utrecht Universuity), dan Ms. Linggawaty Hakim (Director of RI MOFA).
Prof. Dr. Hasjim Djalal menyampaikan, saat ini keterlibatan Indonesia mengenai kebijakan hukum laut di dunia internasional sangat minim. Indonesia harus hadir dan aktif dalam berbagai kegiatan kebijakan internasional, karena banyak dibahas seperti apa pengelolaan, dan eksplorasi yang lebih meluas.
“Sedikit dari orang kita mewakili atau bertindak sebagai anggota di sejumlah pertemuan internasional. Indonesia mempunyai kepentingan. Meliputi kewenangan di dasar laut, sampai kelanjutan wilayah diluar 200 mil. Kalau kita anggota di sana kita bisa tahu perkembangan yang terjadi. Kita bisa tahu bagaimana mengeksplore wilayah diluar 200 mil. Namun sayang, kita belum aktif,” ungkap Prof. Hasjim.
Namun pandangan berbeda disampaikan Prof. Etty. Menurutnya, keterlibatan Indonesia terkait kebijakan hukum laut internasional dirasa cukup. Namun, ada “pagar-pagar” yang dijaga Indonesia. “Jangan sampai mereka masuk dan mengatur kita. Kita punya kedaulatan. Dari segi kepentingan nasionalnya, ada juga kebijakan internasional yang tidak baik untuk diterapkan di Indonesia,” jelas Prof. Etty.
Selain itu Prof. Etty menyampaikan, selaras dengan pembentukan hukum laut dalam Konvensi UNCLOS 1982, pelaksanaan hukum ini di Indonesia telah mengalami berbagai evolusi. Sebelum pembentukan hukum laut pada tahun 1982, hukum laut di Indonesia didasarkan pada empat Konvensi Jenewa 1958 tentang Hukum Laut.
“Kebijakan terus berevelosi. Namun, kondisinya saat ini semakin rumit. Kesulitan-kesulitan ini diakibatkan karena tidak adanya kebijakan nasional yang terpadu. Seringkali kebijakan-kebijakan mengenai pengelolaan laut dan pesisir malah tumpang tindih dan bertentangan,” jelas Prof. Etty.
Prof. Etty kemudian menjelaskan bahwa sebagai suatu negara, Indonesia tidak bisa berdiri sendiri dari perubahan global dalam politik, hukum, ekonomi dan lingkungan. Perubahan di dunia global juga dapat mempengaruhi kebijakan nasional.
“Terutama karena wilayah Indonesia dikelilingi oleh negara-negara tetangga. Masih banyak pekerjaan rumah yang belum terselesaikan. Harus ditinjau kembali Undang-undangnya,” jelas Prof. Etty.
Selain Prof. Etty dan Prof. Hasjim, hadir pula pembicara yang berasal dari luar negeri. Seperti Prof. Robert C. Beckman (Director of Centre of International Law, National University of Singapore), dan Mr. Martin Sebastian (Malaysia). Prof. Etty menyampaikan bahwa seminar internasional ini pada dasarnya diselenggarakan untuk menyebarluaskan pentingnya hukum laut.
“Kebetulan banyak yang datang, staf pengajar dari Fakultas Hukum dari seluruh Indonesia. Secara pribadi, tujuan dari acara ini setidaknya dapat menyebarluaskan pentingnya hukum laut. Kenyataanya perhatian dari dunia pendidikan masih sangat kurang,” lengkapnya.
Prof. Etty juga berharap, segala isu mengenai hukum laut di Indonesia dapat menjadi kesadaran nasional. “Mudah-mudahan setelah pulang ke universitasnya masing-masing, tidak akan ada Fakultas Hukum yang mencoret mata kuliah hukum laut. Harus jadi kesadaran nasional. Di darat kita udah ngga punya apa-apa lagi. Masa depan kita ada di laut,” tutup Prof. Etty. *
Laporan oleh: Lydia Okva Anjelia
Sumber: http://www.unpad.ac.id/archives/53717
0 komentar:
Posting Komentar