Pemerintah, dalam hal ini BPPN, terus melakukan berbagai upaya untuk memaksimalkan
pengembalian uang negara dari tangan para bankir, para pemegang saham terkait maupun dari
para debitur masing-masing bank yang mendapatkan penyaluran dana BLBI. Berbagai konsep
penyelesaian yang sifatnya menyeluruh telah dibuat dalam rangka mendapatkan kembali dana
BLBI tersebut.
Dalam upayanya mengoptimalkan pengembalian uang negara BPPN telah melakukan upaya
penyelesaian dengan membuat beberapa pola perjanjian sesuai dengan kondisi dan kemampuan
dari para pemegang saham bank penerima BLBI. Perjanjian tersebut berupa:4
1. Mengalihkan kewajiban bank menjadi kewajiban pemegang saham pengendali.
Pemerintah, bersama pemegang saham bank beku operasi (BBO) dan bank beku
kegiatan usaha (BBKU), menandatangani master settlement and acquisition agreement
(MSAA), pola ini dan master refinancing agreement and note issuance agreement
(MRNIA). Tujuannya untuk mengembalikan BLBI, baik melalui penyerahan aset maupun
pembayaran tunai kepada BPPN.
2. Pengkonversian BLBI pada bank-bank take over (BTO) menjadi penyertaan modal
sementara (PMS).
3. Mengalihkan utang bank ke pemegang saham pengendali, melalui pola penyelesaian
kewajiban pemegang saham pengendali (PKPS). Caranya dengan menandatangani akta
pengakuan utang (APU).
MSAA merupakan skema untuk penerima BLBI yang dinilai asetnya mampu menutupi seluruh
kewajiban. MSAA diberlakukan terhadap pemegang saham pengendali (PSP) bank yang masih
memiliki harta cukup untuk menyelesaikan kewajibannya terhadap pemerintah. MSAA sendiri
dibedakan menjadi dua jenis, yaitu terhadap pemegang saham pengendali Bank Beku Kegiatan
Usaha (BBKU) dan terhadap pemegang pengendali saham Bank Take Over (BI, 2002).
Masuk dalam kategori ini adalah pemegang saham dari Bank Central Asia, Bank Umum Nasional,
Bank Dagang Nasional Indonesia, Bank Surya, serta Bank Risjad Salim International.
Jika aset yang diserahkan dinilai tidak mencukupi, para pengutang BLBI menggunakan skema
MRNIA. Melalui skema ini, para penandatangan harus menyerahkan jaminan pribadi atau
personal guarantee dan menyatakan kesediaan untuk menyerahkan tambahan aset, bila aset
yang sudah diserahkan ternyata tetap belum mencukupi. Yang masuk dalam kategori ini adalah
pemegang saham dari Bank Modern, Bank Umum Nasional, Bank Danamon, Bank Hokindo.
Skema penyelesaian dengan MSAA kemudian menimbulkan kontroversi. Terutama karena
aset yang diserahkan ternyata tidak sebanding dengan besar utang. Untuk itu, pemerintah
menggunakan skema Akta Pengakuan Utang. Skema ini sama dengan MSAA, hanya
pemegang saham pengendali harus bertanggungjawab bila aset yang diagunkan ternyata
tidak cukup untuk mengembalikan BLBI yang telah diterima.
Sedangkan PKPS merupakan penyempurnaan terhadap mekanisme penyelasaian BLBI melalui
MSAA dan MRNIA yang mengundang banyak komentar negatif. Caranya melalui
penandatanganan akta pengakuan utang (APU). Dalam akta pengakuan utang (APU), mekanisme
penyelesaian kewajiban pemegang saham adalah dengan pembayaran secara tunai dalam
jangka waktu secara berkala. Yang masuk dalam kategori ini adalah pemegang saham dari
4 Ibid, Hukum Berhenti di Kasus BLBI
Position Paper Penyelesaian Hukum Kasus BLBI
Indonesia Corruption Watch (www.antikorupsi.org)
10
bank-bank Bumi Raya Utama, BIRA, Sewu, Hastin, Tata, Namura Yasonta, Indotrade, Putera,
Baja, Lautan Berlian, Papan Sejahtera, Yama, Tamara, Nusa Nasional, Intan, PSP, Namura
Maduma, Bahari, Metropolitan, Bank Umum Servitia, Aken, Mashill, dan Sanho.
Untuk APU, telah dilakukan reformulasi jumlah kewajiban pemegang saham (JKPS). Selain itu
pembayaran yang berdasarkan perjanjian sebelumnya jatuh tempo pada akhir 2004, dipercepat
menjadi selambat-lambatnya Juni 2003. Karena itu tidak ada jalan lain bagi pemegang saham
yang tidak kooperatif selain penyelesaian hukum dengan melaporkan ke Kejaksaan.
STRUKTUR PERJANJIAN PKPS
Keterangan MSAA MRNIA APU
Jangka Waktu 4 tahun 4 tahun 4 tahun
Aset yang diserahkan Sebagai mekanisme
penyelesaian
kewajiban (asset
settlement)
Sebagai jaminan Sebagai jaminan
Kewajiban pemegang
saham
Sebatas pernyataan
dan jaminan yang
disepakati dalam
perjanjian
Sejumlah kewajiban
melalui mekanisme
jaminan pribadi
(personal guarantee)
Sejumlah kewajiban
melalui Akta
Pengakuan Utang
yang diterbitkan oleh
pemegang saham
Pembayaran Bersumber dari
penjualan aset yang
dikuasai pemerintah.
Pemegang saham,
tetapi tidak
ditetapkan secara
berkala
Pembayaran pokok
dan bunga secara
berkala.
Tingkat bunga - 20% per tahun SBI + 3% per tahun
Keterangan lain Dibentuk perusahaan
induk untuk
memonitor proses
penjualan aset yang
diserahkan
Dibentuk perusahaan
induk untuk
memonitor proses
penjualan aset yang
diserahkan
Menggunakan prinsip
“co-debtor”, debitur
(perusahaan) dan
pemegang saham
menjadi pengutang
bersama.
Sumber: Suta, I Putu A. dan Soebowo Musa, 2003: 341.
Skema pengembalian PKPS itu mengundang kritik dari banyak pihak karena posisi pemerintah
yang cenderung dirugikan. Terutama pada skema MSAA. Ketika diserahkan kepada pemerintah
melalui BPPN, aset tersebut ternyata telah digelembungkan sebelumnya. Pada saat yang sama,
pengelolaan aset dilakukan oleh pemilik lama. BPPN yang mendapat mandat untuk melakukan
penjualan, kerap tidak memiliki SDM yang memadai untuk mengurusi seluruh aset-aset itu.
Akibatnya, de jure aset itu milik BPPN, de facto masih di tangan pemilik lama. Salah satu
contoh pengembalian BLBI yang menimbulkan kontroversi adalah divestasi Bank Central Asia
(BCA).
Inpres No.8 Tahun 2002 Tentang Release and Dischage
Salah satu kebijakan pemerintah (saat masih dijabat oleh Megawati) dalam penyelesaian kasus
BLBI adalah mengeluarkan Inpres No.8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian
Hukum Kepada Debitur yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya Atau Tindakan Hukum Kepada
debitur Yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban
Pemegang Saham
Inpres yang dikeluarkan tanggal 30 Desember 2002 menginstruksikan kepada Menko Bidang
Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK), Menteri Kehakiman dan
Position Paper Penyelesaian Hukum Kasus BLBI
Indonesia Corruption Watch (www.antikorupsi.org)
11
HAM, Para Menteri anggota KKSK, Menteri Negara BUMN, Jaksa Agung Republik Indonesia,
Kepala Kepolisian RI dan Ketua BPPN untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan bagi
Penyelesaian Kewajiban Pemegang saham dalam rangka penyelesaian seluruh kewajibannya
kepada BPPN berdasarkan perjanjian MSAA, MRNIA, APU.
Mereka dianggap sudah menyelesaikan utangnya dan mendapatkan Surat Keterangan Lunas -
walaupun hanya 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham (JKPS) dalam bentuk tunai
dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN. Atas dasar bukti ini, mereka
yang diperiksa dalam proses penyidikan maka akan akan dikeluarkan SP 3 dan apabila
perkaranya dalam proses dipengadilan maka akan dijadikan novum atau bukti baru yang akan
membaskan mereka.
Hingga berakhirnya BPPN tahun 2004, dari 39 pemegang saham penandatangan Perjanjian
Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS), 23 pemegang saham telah memenuhi
kewajibannya sesuai dengan batas waktu yang telah ditetapkan pemerintah. Sementara itu 16
pemegang saham lainnya, terdiri dari delapan pemegang saham tidak dapat memenuhi
kewajibannya sesuai dengan batas waktu yang telah ditetapkan pemerintah dan delapan
pemegang saham lainnya dinyatakan tidak kooperatif dan penanganannya akan dilakukan oleh
aparat penegak hukum.5
Akibatnya Inpres No. 8 Tahun 2002 tentang Release and Discharge, Kejaksaan menghentikan
proses penyidikan (SP3) terhadap sedikitnya 10 tersangka korupsi BLBI pada tahun 2004. Alasan
kejaksaan menghentikan penyidkan karena para tersangka telah mendapat Surat Keterangan
Lunas (SKL) dari BPPN. Penghentian penyidikan dalam kasus korupsi BLBI ini pada akhirnya
memperpanjang jumlah SP3 yang telah diberikan pihak kejaksaan.
Daftar Penerima Surat Keterangan Lunas
No Nama Pemegang Saham Bank Nilai Utang
(dalam miliar)
1 Hendra Liem Budi Internasional 16,95
2 The Ning King Danahutama 23,00
3 Sudwikatmono Surya 1,887
4 Ibrahim Risjad Risjad Salim Internasional (RSI) 10,664
5 Soedono Salim Bank Central Asia (BCA) 52,767
6 Siti Hardijanti Rukmana Yakin Makmur (Yama) 155
7 Hasjim Djojohadikusumo Papan Sejahtera 216,98
8 Njoo Kok Kiong Papan Sejahtera 108,49
9 Honggo Wendratmo Papan Sejahtera 108,49
10 Andy Hartawan Sardjito Baja Internasional 32,66
11 Soeparno Adijanto Bumi Raya Utama 24,81
12 Mulianto Tanaga Indotrade 15,31
13 Philip S. Widjaja Mashill 14,90
14 Ganda Eka Handria Sanho 4,41
15 Nirwan Bakrie Nusa Nasional 3.006,16
16 Husudo Angkosubroto Sewu Internasioanal 209,20
17 Iwan Suhardiman Tamara 35,61
18 The Ning Kong Baja Internasional 45,14
19 The Tje Min Hastin 139,79
20 Samsul Nursalim BDNI 28.408,00
5 Riyan Kiryanto, Agenda Tersisa Pasca-BPPN, Suara Pembaruan, 27 Februari 2004.
Position Paper Penyelesaian Hukum Kasus BLBI
Indonesia Corruption Watch (www.antikorupsi.org)
12
21 Bob Hasan BUN 5.341,00
22 Usman Admadjaja Danamon 12.533,00
Sumber : Koran Tempo, 15 April 2004 dan Kompas, 1 Mei 2004
Daftar Obligor yang belum memenuhi kewajibannya
No Nama Pemegang Saham Bank Nilai Utang
(dalam miliar)
1 Atang Latief Indonesia Raya 325,46
2 James Januardy
Adissaputra Januardy
Namura Internusa 123,04
3 Ulung Bursa Lautan Berlian 615,44
4 Lidia Mochtar Tamara 202,80
5 Omar Putirai Tamara 190,17
6 Marimutu Sinivasan Putera Multikarsa 1.130,61
7 Kaharudin Ongko BUN 8.348,00
8 Samadikun Hartono Modern 2.663,0
Sumber: Koran tempo 15 April 2004, /BPPN, kompas, 1 Mei 2004.
Daftar bankir yang dilimpahkan ke Tim Pemberasan
No Nama Pemegang Saham Bank Perjanjian Nilai Utang
(dalam miliar)
1 Atang Latief Indonesia Raya APU 325,46
2 James Januardy
Adissaputra Januardy
Namura Yasonta APU 123,04
3 Ulung Bursa Lautan Berlian APU 615,44
4 Lidia Mochtar Tamara APU 202,80
5 Omar Putirai Tamara APU 190,17
6 Marimutu Sinivasan Putera Multikarsa APU 1.130,61
Sumber: Koran tempo 18 Oktober 2004.
Daftar Bankir Yang diserahkan ke Kepolisian
No Nama Pemegang Saham Bank Perjanjian Nilai Utang
(dalam miliar)
1 Baringin Pangabean
Joseph Januardy
Namura Internusa APU 158,93
2 Santosa Sumali Metropolitan APU 46,55
3 Fadel Muhammad Intan APU 93,28
4 Santosa Sumali Bahari APU 295,05
5 Trijono Gondokusuma PSP APU 3.3031,11
6 Hengky Wijaya
Taony Tanjung
Tata APU 461,99
7 I Gde Dermawan
Made Sudiarta
Aken APU 680,89
8 Tarunojoyo Nusa
David Nusa Widjaya
Umum Servitia APU 3.336,44
9 Kaharudin Ongko BUN MRNIA 8.348,00
Position Paper Penyelesaian Hukum Kasus BLBI
Indonesia Corruption Watch (www.antikorupsi.org)
13
10 Samadikun Hartono Modern MRNIA 2.663,0
Sumber: Koran tempo 18 Oktober 2004.
BLBI Pasca BPPN
Dalam Laporan kepada Komisi IX Bidang Keuangan dan Perbankan DPR RI tanggal 12 Februari
2004 , Ketua BPPN Syafruddin Temenggung menyatakan, setelah bubar nanti BPPN mewariskan
1.361 kasus hukum, meliputi 447 debitor dengan nilai utang Rp 25 triliun. Mayoritas kasus itu
menyangkut persoalan aset. Diakui oleh BPPN, pihaknya tidak mampu menyelesaikan kasuskasus
hukum tersebut, karena kasusnya banyak dan jadual penyelesaian di pengadilan lama.
Dari 1.361 kasus hukum tersebut, rinciannya adalah sebesar 178 kasus (13%) dimenangkan
BPPN, 56 perkara (4%) BPPN dalam posisi kalah dan sebanyak 1.100 kasus (81%) masih dalam
proses di berbagai tingkat peradilan baik proses banding maupun kasasi. 6
Dari dana Rp 600 triliun yang disuntikkan pemerintah ke perbankan pascakrisis moneter, sampai
dengan Oktober 2003, Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) sudah mengembalikan
Rp152,4 triliun. Itu terdiri dari setoran tunai Rp107,167 triliun, obligasi Rp14,994 triliun, tunai
non-Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Rp9,7 triliun, dan obligasi daur ulang
(recycled bonds) Rp20,541 triliun.
Dari obligasi yang sudah ditarik BPPN sebesar Rp20,54 triliun ada yang disuntikkan kembali ke
Bank Internasional Indonesia (BII) dalam rangka penyehatan perbankan sebesar Rp18,67 triliun.
Selain itu, ada juga disuntikkan untuk Bank Permata dalam rangka merger.
Sedangkan untuk tunai non-APBN, digunakan Rp2,73 triliun untuk penyertaan tunai ke dalam
bank hasil merger Bank Permata. Selain itu sebesar Rp2,96 triliun merupakan pendapatan lainlain,
yaitu iuran premi penjaminan dan pengembalian kupon obligasi dan dana pihak ketiga
(DPK). Mengenai peran BPPN dalam pemulihan ekonomi, Syafruddin dalam penjelasan
tertulisnya mengungkapkan bahwa bank di bawah BPPN berada dalam keadaan sehat setelah
melalui proses penyehatan perbankan. Itu terlihat dari rasio kecukupan modal (capital
adequacy ratio/CAR) yang berada di atas 8%, rasio kredit bermasalah (non performing
loans/NPL) di bawah 5%, dan rasio antara dana pihak ketiga dan kredit yang disalurkan (loan to
deposit ratio/LDR) yang mencapai rata-rata 42%.
Dengan perincian yaitu Bank Niaga per September 2003 memiliki CAR 12,07%, NPL 2,63%, dan
LDR 67,27%. Bank Danamon: CAR 25,34%, NPL 5,06%, LDR 68,51%. Bank Lippo: CAR 23,58%, NPL
2,25%, LDR 20,80%. BII: CAR 24,49%, NPL 2,10%, LDR 30,63%. Bank Permata: CAR 10,10%, NPL
3,54%, LDR 40,70%, dan BCA: CAR 35,40%, NPL 2,39%, LDR 22,74%.
http://infoblbi.com/files/200805211715470.menu%20dokumen%20kajianhukumkasusblbi.pdf
01/07/12
Penyelesaian Kasus BLBI
Diposting oleh
Ayu Tia Purwandari
di
18.53
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Label:
Aspek Hukum dalam Ekonomi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar