Pages

05/07/12

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN KEJAHATAN EKONOMI DI BIDANG PERBANKAN

ABSTRACT
A prolonged crisis and a lack of public confidence in banking institutions resulted in the collapse of banking institutions. This is the impact of economic crime in the banking sector conducted by the bank. The next impact is the emergence of a far greater casualties than ordinary crimes.
Victims of economic crime in banking melipiti saving customers money, the bank is concerned, the banks that lend both private and public, in the abstract sense include terminated employees (layoffs) because the bank's bankruptcy and economic systems become disrupted and damaged. Identifiers of the victims of crimes committed in the bank as an attempt to show that the scope of crime victims in the economic field is so large.
Keyword : Protection Law, Victims, Crime Economy, Banking

A. LATAR BELAKANG.
Mengakaji perlindungan korban, termasuk korban kejahatan dibidang ekonomi khususnya lagi di bidang perbankan, dasar filosofinya sangat terkait dengan tujuan diselenggarakannya Negara Republik Indonesia yaitu sebagaimana dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945 alenea 4 : “melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejateran umum, ….”. Dengan adanya kalimat melindungi segenap bangsa Indonesia ...” berarti negara turut bertanggung jawab dalam upaya mengangkat harkat dan martabat manusia.
Menurut Mardjono Reksodiputro sebagian masyarakat Indonesia mengartikan kejahatan sebagai pelanggaran atas hukum pidana baik dalam undang-undang pidana maupun dalam perundang-undangan administrasi yang bersanksi pidana. Dengan demikian persepsi yang demikian berarti kejahatan mendahului hukum artinya suatu perbuatan yang dianggap sangat merugikan masyarakat, kemudian muncul hukum pidana yang bertujuan melindungi kepentingan masyarakat.( Mardjono Reksodiputro 1993 : 1-2).
Munculnya berbagai kejahatan dalam dimensi baru akhir-akhir ini menunjukan kejahatan berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakatnya. Salah satunya kejahatan tersebut adalah Crime as businnes itu diakui sebagai ancaman yang serius terhadap masyarakat dan ekonomi negara dari pada kejahatan tradisional. Kongres PBB ke-6 tentang the Prevention of Crime and Treatment of offenders yang diselenggarankan di Caracas yang membahas crime and the abuse of power, offence and offenders beyond the reach of the law, lebih lanjut dikatakan konsep-konsep ini ia meliputi beberapa bidang yang kesemuanya terkait satu sama lain.
Sehubungan dengan kejahatan ekonomi tersebut pada dasarnya dapat dibagi dua yaitu dalam arti sempit dalam arti luas. Dalam arti sempit sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Undang-undang No. 7 Drt.1955 (LN.No.27 Thun 1955) pengertian kejahatan ekonomi di samakan dengan tindak pidana ekonomi yang hanya mencakup perbuatan yang melanggar sesuatu ketentuan dalam atau berdasarkan peraturan-peratutan yang disebut dalam pasal 1 tersebut. Pada konteks ini, ada tiga katagori tindak pidana ekonomi sebagai berikut :
a) Jenis kejahatan pertama, berhubungan dengan peraturan-peraturan yang disebut dengan tegas dalam pasal 1 Undang-undang No. 7 Drt Tahun 1955.
b) Jenis kedua, berhubungan dengan pasal 26, 32, dan 33 Undang-undang No. 7 Drt Tahun 1955.
c) Jenis yang ketiga, yang memberikan kewenangan kepada legislatif untuk menamakan suatu perbuatan menjadi tindak pidana ekonomi.
Diluar batasan tersebut perbuatan apa pun yang melanggar peraturan perundang-undangan dan merugikan perekonomian Indonesia tidak dapat dinamakan kejahatan ekonomi. Dalam arti luas kejahatan ekonomi diatur di dalam maupun dilaur Undang-undang No.7 Drt 1955. Kejahatan ekonomi di bidang perbankan, sebagai suatu bentuk perbuatan yang melanggar perundang-undangan di bidang perekonomian dan keuangan merupakan kejahatan ekonomi.
Sehubungan dengan krisis yang berkepenjangan serta kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan yang mengakibatkan pula hancurnya lembaga perbankan merupakan dampak dari kejahatan ekonomi di bidang perbankan yang dilakukan oleh bank. Dampak berikutnya adalah timbulnya korban yang jauh lebih besar dari pada kejahatan biasa. Misalnya kasus Bank Summa, bank Century yang menjadi korban adalah nasabah penyimpan dana, dan rakyat secara keseluruhan karena selain modal dari bank tersebut juga mendapat pinjaman dari Bank Indonesia yang sesunggunya uang tersebut adalah uang rakyat.
Beradasarkan gambaran tersebut korban kejahatan ekonomi dibidang perbankan melipiti nasabah penyimpan dana, bank yang bersangkutan, bank-bank yang memberi pinjaman swasta maupun pemerintah, dalam arti abstrak meliputi karyawan yang diberhentikan (pemutusan hubungan kerja) karena bank bankrut serta sistem ekonomi menjadi terganggu dan rusak. Pengidentifikasi terhadap korban akibat kejahatan yang dilakukan bank sebagai upaya untuk menunjukan bahwa ruang lingkup korban kejahatan dibidang ekonomi begitu besar. Untuk itu perlu perlu dikaji langka-langka atau kebijakan yang perlu diambil dalam rangka perlindungan terhadap korban kejahatan ekonomi di bidang perbankan, agar tercipta kedamaiaan dalam kesejateraan, termasuk, perlindungan kepada korban kejahatan ekonomi di bidang perbankan demikian menurut J. E. Sahetapy. (J.E. Sahetapy 1992: 35 )

B. PERMASALAHAN
Bahwa ruang lingkungkup kejahatan ekonomi dalam arti luas sering dalam istilah asing disebut dengan “economic crime’, “creme as business”, “business creme”, “ abuses of ecomonic power”, atau “ economic abuses”. Laporan Kongres PBB ke-5 mengenai The Prevention of crime and the treatment of offenders terungkap bahwa crime as business merupakan bentuk kejahatan dalam bidang bisnis atau industri yang pada umumnya dilakukan secara terorganisasi dan mereka mempunyai kedudukan yang terpandang dalam masyarakat. (Barda Nawawi Arif 2009 : 4)
Jenis tindak pidana di bidang ekonomi dalam arti sempit disebut tindak pidana ekonomi dan bersumber pada pasal 1 UU No. 7 Drt 1955 tentang Pengusutan Penuntutan dan Peradilan Tindak Tidana Ekonomi yang ditetapkan sebagai Undang-undang dengan Undang-undang No 1 Tahun 1961 yang dapat terbagi atas 3 (tiga) macam yaitu; (H.A.K. Moch. Anwar, 1990 : 8) Tindak Pidana Ekonomi Berdasarkan Pasal 1 Sub 1e. Mencakup beberapa peraturan-peraturan undang-undangan (penyebutan secara limitatif ) yang mengatur beberapa sektor dibidang ekonomi, sebagai sumber hukum pidana ekonomi dan memuat ketentuan pidana. Tindak pidana dibidang ekonomi dalam arti luas terdiri atas:
a. Perbuatan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan dari peraturan- peraturan dibidang ekonomi, pelanggaran mana diancam dengan peraturan yang tidak termuat di dalam UU No 7 Drt 1955.
b. Perbuatan pelanggaran hukum yang menyangkut bidang ekonomi dapat diberlakukan beberapa ketentuan dalam KUHP.
Melihat kejahatan dibidang ekonomi khususnya terhadap kejahatan perbankan tentunya akan berdampak aspek negatif terhadap perekonomian masyarakat maupun negara. Dengan demikian permasalahan yang hendak diangkat dalam permasalahan ini adalah Bagaimanakah perlindungan korban kejahatan dibidang ekonomi khusus terhadap bidang perbankan jika ditinjau dari hukum positif?.

C. PEMBAHASAN
1. Pengertian Korban
Yang dimaksud korban adalah meraka yang menderita baik jasmiah maupun rohania, sebagai dampak dari perbuatan orang lain demi pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan serta hak asasi yang menderita. Pengertian korban yang dirumuskan dalam Declaration On Bacis Principles Of Jastise For Viktim Of Crime And Abuse Of Power dalam tahun 1985 dalam Sidang Umum PBB telah mengadopsi apa yang disebut korban (viktim) adalah siapapun dia, baik secara pribadi maupun kelompok, yang menderita akibat perbuataan jahat baik secara fisik maupun mental, emosi, kerugian ekonomi, perbuatan yang semena-mena, atau dihalang-halangi untuk memperoleh haknya.( Declaration On Bacis Principles Of Jastise For Viktim Of Crime And Abuse Of Power 1985).
Masalah korban adalah masalah manusia maka sudah sewajarnya apabila kita berpegang pada pandangan yang tepat mengenai manusia serta eksistensinya. Dengan pandangan serta pengertian yang tepat mengenai manusia, dimungkinkan kita bersikap dan bertindak tepat dalam menghadapai manusia yang berperan dalam terjadinya suatu korban tindak pidana dan korban itu sendiri, serta menentukan tanggung jawabnya masing-masing.
Tentu saja dengan melihat serta memahami pengertian serta penempatan posisi korban dengan semestinya maka, akan menghindari pemahaman-pemahaman yang keliru terhadap korban oleh masyarakat, maupun alat-alat penegak hukum serta lembaga pengadilan secara kusus.
2. Pengaturan Perlindungan Korban Kejahatan di Bidang Ekonomi. Dalam Hukum Posetif.
Mengingat misi yang diemban oleh bank, yaitu dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak, maka kejahatan di bidang perbankan yang mengandung delik korupsi seharusnya dapat di berlakukan ketentuan pidana yang tercantum dalam Undang-undang No.31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebagai contoh memberi hadia atau janji kepada pegawai negeri, merupakan perbuatan yang tidak jarang terjadi di dunia perbankan, misalnya dalam hal pengajuan kridit. Ketentuan pidana terhadap delik tersebut di atur dalam pasal 13 Undang-undang No.31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2001 yaitu dengan pidana penjara paling lama tiga tahun dan atau denda paling banyak Rp 150.000.000. disamping itu menyalagunakan dana negara dan masyarakat deposan pada dasarnya sudah masuk dalam lingkungan tindak pidana korupsi.
Undang-undang No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2001, korporasi merupakan subjek hukum pada tataran penegakannya ternyata masih sulit diwujudkan. Sebagaimana yang sampaikan oleh Mardjono Reksodiputro bahwa dalam praktek penerapan hukum pidana terhadap korporasi misalnya terhadap penyalagunaan BLBI sukar dibuktikan dan sulit pula dialihkan kepada direksi sebagai pemikul tanggungjawab. (Mardjono Reksodiputro 2001:Materi Ujian Proposal Program Doktor Ilmu Hukum Pada Program Pascasarjana Universitas Airlangga tanggal 23 Ferbuari)
Hal ini dapat diketahui didalam pasal 20 Undang-undang No.31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2001. Pasal 20 ini hanya mengatur tata cara penuntutan jika korporasi melakukan tindak pidana korupsi. Sedangkan ketentuan untuk perlindungan terhadap korban akibat kejahatan korporasi sama sekali tidak diatur. Dalam ayat (7) hanya diatur tentang penambahan satu pertiga dari ketentuan maksimum pidana denda yang dijatuhkan pada korporasi. Hal ini juga dapat dijumpai dalam pasal 18 dan 20 Undang-undang No.31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2001 bahwa pidana tambahan yang antara lain meliputi perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tak berwujud atau barang tak bergerak, pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
Kesemuanya ini ditujuhkan kepada korban secara tidak langsung sedangkan perlindungan korban (actual viktim) akibat kejahatan korporasi masih belum diatur dalam Undang-undang No.31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2001. Dalam Undang-undang perbankan dimana korporasi masih dianggap bukan sebagai subjek hukum pidana. Keadaan yang demikian sangat melemahkan perlindungan terhadap perlindungan korban kejahatan ekonomi di bidang perbankan.
Undang-undang No. 15 tahun 2002 sebagaimana diubah dengan Undang-undang No 25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang menyebutkan dalam hal pelaksanaan pemberian restitusi kepada pihak korban melampaui batas enam puluh hari maka korban atau ahli warisnya dapat melaporkan kepada pengadilan. Setelah pengadilan menerima laporan, maka pengadilan memerintahkan pelaku untuk melaksanakan putusan tersebut paling lambat tiga puluh hari. Ini merupakan bentuk pengingkaran terhadap korban.
Menurut Barda Nawawi Arif perlindungan korban dalam hukum posetif merupakan perlindungan abstrak atau perlindungan tidak langsung. Dikatakan demikian karena tindak pidana menurut hukum posetif tidak lihat sebagai perbuatan menyerang atau melanggar kepentingan hukum seseorang (korban) secara pribadi dan konkrit, tetapi hanya sebagai pelanggran norma atau tertib hukum in abstracto. Akibatnya perlindungan korban pun tidak secara langsung dan in concreto.
Selanjutnya menurut Beliau baik KUHP, UUTPE maupun KUHAP, seolah ada perlindungan secara langsung, tetapi apabila di telah lebih lanjut ternya adalah perlindungan korban secara tidak langsung. Hal dapat terlihat dalam pasal 14c KUHP:
“ Dengan perintah yang dimaksud pasal 14a, kecuali jika dijatuhkan pidana denda, selain menetapkan syarat umum bahwa terpidana tidak akan melakukan tindak pidana, hakim dapat menetapkan syarat khusus bahwa terpidana tindak pidana , hakim dapat menerapkan syarat khusus bahwa terpidana dalam waktu tertentu, yang lebih pendek daripada masa percobaannya, harus mengganti segala atau sebagian kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tadi.”
Selanjutnya menurut beliau ganti kerugian tersebut jarang diterapkan karena mengandung beberapa kelemahan diantaranya syarat khusus tentang ganti rugi tersebut hanya berlaku fakultatif dan tidak bersifat imperatif. Demikian juga dengan Undang-undang No. 7 Drt Tahun 1955 (UUTPE). Kendati ketentuan pasal 8 sub (d) memberi kemungkinan kepada hakim untuk menjatuhkan sanksi tindak pidana tata tertib berupa kewajiban mengerjakan apa yang telah dilalaikan tanpa hak, meniadakan apa yang dilakukan tanpa hak, dan melakukan jasa-jasa untuk perbaikan akibat-akibat yang kesemuanya atas biaya terpidana. Jelas terlihat bahwa ketentuan ini berorintasi pada korban. Akan tetapi bila kita menyimak isi dari ketentuan pasal 6 ayat (3) UUTPE, disamping terpidana dijatuhi pidana pokok dapat juga dijatuhi pidana tambahan atau tata tertib, maka ini pun menurut Barda Nawawi Arif, tetap bersifat fakultatif meskipun diakuinya sebagai lebih baik dari pada ketentuan pasal 14c KUHP. Alasannya tindakan tata tertib tersebut dapat dijatuhkan secara bersama-sama dengan pidana pokok.
Selanjutnya di dalam KUHAP (undang-undang No. 8 Tahun 1981 LN. No. 76 tanggal 13 Desember 1981) BAB XIII tentang Pengabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian padal (98-101) pasal 98 KUHAP menentukan: jika dalam suatu perkara pidana ada orang yang dirugikan maka hakim atas permintaan orang yang dirugikan itu dapat menetapkan penggabungan perkara gugatan ganti kerugian dalam perkara pidana itu. Namun, syarat permintaan untuk menuntut ganti kerugian tersebut hanya dapat diajukan selambat-lambatnya sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pidana atau sebelum hakim menjatuhkan putusan dalam hal penuntut umum tidak hadir.
Bila kita merujuk pada ketentuan KUHAP maka pembentuk Undang-undang selain memperhatikan hak-hak tersangka, dan terdakwa juga memperhatikan hak-hak korban. Akan tetapi hak-hak korban yang diatur dalam BAB XIII itu sifatnya bukan merupakan sesuatu yang seharusnya dihakiki oleh korban, melainkan masih bergantung pada kondisi tertentu. Hal ini dapat di tunjukan dalam ketentuan pasal 99 ayat (3) KUHAP; putusan ganti kerugian itu dengan sendirinya mendapat kekuatan tetap, apa bila putusan pidananya juga mendapat kekuatan hukum tetap. Jadi hak untuk memperoleh ganti kerugian itu masih tergantung keputusan pidananya.
Uraian tersebut menunjukan bahwa hukum posetif kita masih belum tegas (secara imperatif) dan konkret mengatur perlindungan terhadap korban. Disaat ini dan kedepannya bahwa korban merupakan pihak yang perlu mendapat perhatian dalam perundang-undangan kita. Terlebih lagi menghadapi era globalisasi di berbagai bidang dimana pelaku kejahatan tidak lagi di dominasi oleh golongan kelas bawah tetapi juga dari golangan kelas atas (white coller crime) termasuk kejahatan yang dilakukan oleh suatu korporasi. ( Arif Amrullah, 2007 : 109) Apabila memperhatikan UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsemen, perhatian perlindungan terhadap korban telah terimplementtasi ke dalam undang-undang tersebut. Tetapi korban yang dilindungi sifatnya sektoral yaitu baru sebatas pada perlindungan konsumen agar tidak menjadi korban atas suatu produk barang dan jasa dari perbuuatan curang yang dilakukan oleh korporasi.
Perlindungan itu seharusnya tidak hanya sebatas korban seperti yang telah diatur dalam produk-produk hukum tersebut tetapi juga perlindungan terhadap korban pada umumnya, termasuk korban kejahatan ekonomi dibidang perbankkan karena akibat yang di timbulkan oleh kejahatan ekonomi telah merusak perekonomian nasional kita yaitu dengan korban yang jauh lebih luas dari pada kejahatan biasa (konvensional). Oleh sebab iti perlindungan terhadap korban semakin mendesak untuk dirumuskan dalam perundang-undangan nasional secara terpadu sebab hal itu menyangkut hak-hak korban.

D. P E N U T U P
1. Kesimpulan
Dari uraian yang telah dikemukan jelas terlihat adanya hubungan yang tidak dapat di pisahkan antara tindak pidana ekonomi dan kejahatan dibidang perbankan khusus terhadap perlindungan korban akibat kejahatan tersebut.
1. Pada kenyataannya kejahatan ekonomi dapat dibagai dua yaitu dalam artti luas dan dalam arti sempit, sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 1 UUTPE pengertian kejahatan ekonomi disamakan dengan tindak pidana ekonomi yang hanya mencakup perbuatan yang melanggar sesuatu ketentuan dalam atau berdasarkan peraturan-peraturan yang disebut dalam pasal 1 tersebut.
2. Bahwa kejahatan ekonomi merupakan salah satu bentuk kejahatan yang erat sekali hubungannya dengan sistim atau struktur sosial ekonomi masyarakat yang tidak hanya bersifat nasional tetapi juga sangat dipengaruhi oleh tatanan ekonomi dunia internasional. Masih terlihat aturan-aturan yang bersifat kaku dalam perlindungan korban kejahatan akibat kejahatan ekonomi.
3. Hukum posetif kita masih belum tegas (secara imperatif) dan konkret mengatur perlindungan terhadap korban. Pada hal dalam era ini dan kedepannya korban merupakan pihak yang perlu mendapat perhatian dalam perundang-undangan. Perlindungan itu seharusnya tidak hanya sebatas korban seperti yang telah diatur dalam produk-produk hukum tersebut tetapi juga perlindungan terhadap korban pada umumnya, termasuk korban kejahatan ekonomi dibidang perbankkan karena akibat yang di timbulkan oleh kejahatan ekonomi telah merusak
perekonomian nasional kita yaitu dengan korban yang jauh lebih luas dari pada kejahatan biasa (konvensional).
2. Saran
Dari hasil pembahasan, maka saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut:
1. Kejahatan bisnis bagi para pelakunya sering dinyatakan tindakan Illegal But Not Crimenal polanya terselubung dan dapat dikatakan non konvensional yang cenderung melahirkan berbagai jenis kejahatan lainnya. Oleh karena itu tindakan penanggulangan kejahatan bisnis memerlukan kebijakan strategis dalam pengamanan pembangunan nasional.
2. Untuk memberikan perlindungan hukum pidana terhadap korban kejahatan ekonomi di bidang perbankan, baik yang berorintasi pada perlindungan terhadap korban in abstracto maupun korban in abstaracto hukum pidana yang akan datang seharusnya memodifikasi konsep dalam memenuhi kepentingan yang berkembang dalam masyarakat yaitu disamping memformulaikan ancaman pidana tinggi yang tercermin dalam pidana pokok, pidana tambahan, dan pidana berupa tindakan tata tertib atau sanksi administratif yang merupakan implementasi dari asas kemasyarakatan atau asas perlindungan masyarakat, juga memformulasikan ancaman pidana yang berorintasi kepada perlindungan korban aktual.
Oleh : J. Hattu
paparisa.unpatti.ac.id/paperrepo/ppr_iteminfo_lnk.php?id=91

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Arif Amrullah, 2007, Politik Hukum Pidana Dalam Perlindungan Korban Kejahatan Ekonomi di Bidang Perbankan, Bayumedia, Malang,
Barda Nawawi Arif, Makalah, Fungsionalisasi Hukum dalam Penanggulangan Kejahatan Ekonomi
.................., 1998, Jurnal Hukum Pidana Dan Kriminologi, Volume I/Nomor I
H.A.K. Moch. Anwar, 1990, Hukum Pidana di bidang Ekonomi, Citra Aditya Bakti, Bandung,
J.E. Sahetapy, 1992, Teori Kriminologi Sebuah Pengantar, Bandung, Citra Aditnya Bakti,
Mardjono Reksodiputro, 1993, Sistem Peradilan Pidana Indonesia (melihat Pada kejahatan dan penegakan hukum dalam batas-batas-batas toleransi) disampaikan dalam Pidato Pengukungan Jabatan Guru Besar dalam Bidang Ilmum Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta
........................, Materi ujuan Proposal Program Doktor Ilmu Hukum Pada Program Pascasarjana Universitas Airlangga tanggal 23 Ferbuari 2001
Perundang-undangan
Undang-undang No 7 Drt 1955 tentang Pengusutan Penuntutan dan Peradilan Tindak Tidana Ekonomi
Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-undang No 25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
Instrumen Internasional
Uneted Nations, Economic and Sosial Concil, Appropriate Modalities and Guidelines for the Prevvention and Control of Organized Transnational Crime at the Regional and International Levels, Word Ministeriak Conference on Organized Transnational Crime, Naples, 21-23 1994, Dokumen E/CONF.88/5,
Declaration On Bacis Principles Of Jastise For Viktim Of Crime And Abuse Of Power “1985

0 komentar:

Posting Komentar